Header Ads

Jejak Islam Tua di Toba dan Masjid Ali Martaib


Kabupaten Toba yang hari ini dikenal sebagai jantung pariwisata Danau Toba ternyata menyimpan sejarah panjang keislaman yang nyaris terlupakan. Sejarah Islam di kawasan ini bukan sesuatu yang baru muncul, tetapi sudah berurat akar sejak ratusan tahun lalu, mengalir dari titik nol peradaban Islam di Nusantara: Barus, Tapanuli Tengah.

Barus yang kini menjadi kota kecil di pesisir barat Sumatera Utara, dikenal dalam sejarah sebagai pelabuhan dagang yang sudah ramai sejak abad ke-7. Di sinilah para pedagang Arab, Gujarat, dan Persia pertama kali menjejakkan kaki dan memperkenalkan ajaran Islam. Banyak sumber menyebutkan bahwa dari Barus inilah ajaran Islam menyebar ke pedalaman, termasuk hingga ke kawasan Danau Toba.

Selain Barus, pengaruh Islam juga datang dari arah timur, melalui jalur kerajaan maritim Samudera Pasai yang menjalin hubungan dagang dan dakwah dengan kerajaan-kerajaan Batak. Kerajaan Aru di pesisir timur Sumatra merupakan salah satu kerajaan Batak Islam yang memiliki hubungan erat dengan Samudera Pasai. Dari sinilah jalur penyebaran Islam mengarah ke pedalaman Toba melalui Sungai Asahan.

Sungai Asahan yang mengalir dari Danau Toba menuju Selat Malaka menjadi jalur alami penyebaran dakwah Islam. Di sepanjang sungai ini, para dai dan pedagang menyebarkan Islam, bersinggungan langsung dengan masyarakat Batak yang masih memegang teguh tradisi leluhur mereka. Namun dakwah berjalan damai, disesuaikan dengan pendekatan budaya dan nilai-nilai lokal.

Salah satu komunitas Muslim tertua yang tercatat dalam sejarah adalah komunitas Marpaung Muslim di sekitar Porsea. Komunitas ini telah eksis sejak lebih dari 500 tahun lalu. Marpaung sendiri adalah salah satu marga Batak Toba yang hingga kini dikenal sebagai bagian dari pewaris Kerajaan Gontar. Kerajaan ini merupakan bagian dari federasi Kerajaan Aru, yang dikenal telah lebih dahulu memeluk Islam sejak masa kejayaan Samudera Pasai.

Jejak Islam di kawasan Toba tak hanya berhenti pada penyebaran awal. Sosok penting dalam perkembangan Islam di daerah ini adalah Syeikh Ali Martaib, seorang ulama dan tokoh penyebar Islam di Porsea. Kiprah dakwahnya begitu besar, hingga namanya diabadikan sebagai nama masjid yang kini berdiri di Lumban Julu, Kabupaten Toba.

Masjid Syeikh Ali Martaib, sebelum dipugar beberapa tahun terakhir, diyakini telah berusia ratusan tahun. Keberadaan masjid ini menjadi saksi bisu dari eksistensi Islam yang telah mengakar sejak lama di daerah yang kini mayoritas beragama Kristen. Tidak hanya bangunan fisik, tapi nilai-nilai keislaman yang dibawa oleh Syeikh Ali masih dikenang dan dijaga oleh sebagian masyarakat lokal.

Keberadaan Syeikh Ali Martaib dan komunitas Muslim lama di Porsea membuktikan bahwa Islam bukan hal baru di Toba. Meski kini keberadaan umat Islam menjadi minoritas, sejarah mencatat bahwa mereka pernah menjadi bagian penting dari dinamika sosial dan budaya di kawasan Danau Toba.

Bukti lain dari peradaban Islam di Toba juga ditemukan dalam peninggalan-peninggalan lama seperti nisan bernuansa Arab kuno, manuskrip tulisan tangan, hingga struktur-struktur pemakaman Muslim yang tersebar di sekitar Toba, Porsea, dan Lumban Julu. Temuan-temuan ini masih menjadi bahan kajian sejarah yang belum banyak diangkat ke permukaan.

Penyebaran Islam di Toba berlangsung dalam bingkai harmoni. Tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan adanya konflik besar antara para dai Muslim dan masyarakat adat Batak. Justru pendekatan damai yang dilakukan para ulama membuat nilai-nilai Islam diterima sebagai bagian dari kebudayaan lokal.

Kerajaan Gontar yang menganut Islam bahkan dikenal menghormati adat Batak dan menjadikannya bagian dari struktur kekuasaan kerajaan. Hal ini memperlihatkan bagaimana Islam mampu beradaptasi dan berdampingan dengan kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas masyarakat setempat.

Kini, sejarah Islam di Toba kembali mendapat perhatian, terutama di kalangan akademisi dan budayawan. Banyak pihak yang mendorong perlunya pelestarian situs-situs sejarah Islam di kawasan ini sebagai bagian dari warisan peradaban Sumatera Utara yang kaya dan multikultural.

Masjid Syeikh Ali Martaib di Lumban Julu kini mulai dirawat sebagai simbol sejarah. Pemugaran dilakukan dengan tetap mempertahankan arsitektur lamanya, menjadikan masjid ini tak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga pusat edukasi sejarah Islam di Toba.

Perjalanan Islam dari pesisir Barus, sebagian melewati kerajaan Aru (pantai Timur Sumatera), menelusuri Sungai Asahan hingga tiba di Porsea dan Lumban Julu, adalah bukti bahwa agama ini telah hadir dan hidup bersama masyarakat Batak jauh sebelum masa kolonialisme. Kisah ini membuka cakrawala baru bahwa Islam dan Batak bukanlah dua hal yang terpisah, tapi saling berkelindan dalam sejarah panjang Sumatera.

Dengan makin kuatnya kesadaran sejarah ini, diharapkan generasi muda Batak Muslim maupun non-Muslim dapat melihat warisan leluhur mereka dalam perspektif yang utuh dan menghargai keberagaman yang telah tumbuh sejak berabad-abad silam.

Sejarah Islam di Toba bukan hanya milik umat Islam, tapi juga bagian tak terpisahkan dari mozaik kebudayaan Batak yang kaya, berwarna, dan terbuka terhadap perbedaan. Sebuah kisah yang perlu terus digali, dirawat, dan diceritakan kepada dunia.

Diberdayakan oleh Blogger.