Sejarah Islam di Myanmar, Kisah Para Pejabat Muslim di Arakan
Sebuah lembaran sejarah yang mungkin terlupakan, atau bahkan tak banyak diketahui, terungkap dari pesisir Arakan.
Selama lebih dari dua ratus tahun, dari tahun 1430 hingga 1645, para raja Arakan, yang mayoritas beragama Buddha, secara mengejutkan mengadopsi gelar dan nama-nama Muslim. Tradisi dan budaya Islam pun meresap ke dalam kehidupan istana, menciptakan fenomena unik di kawasan Asia Tenggara.
Bukan sekadar nama, jejak pengaruh Islam ini terukir dalam koin-koin yang mereka keluarkan. Bahkan, di tengah pasang surut hubungan dengan Bengal yang mayoritas Muslim, tradisi ini tetap dipertahankan.
Kolonel Ba Shin, mantan Ketua Komisi Sejarah Burma, menegaskan bahwa "Arakan secara virtual diperintah oleh Muslim dari tahun 1430 hingga 1531." Sebuah pernyataan yang menggambarkan betapa kuatnya pengaruh Islam pada masa itu.
Peta sejarah dunia yang diterbitkan oleh The Times Complete History of the World pada tahun 2010 pun mencantumkan Arakan sebagai negara Islam, dalam konteks pembagian budaya Asia Tenggara pada tahun 1500. Hal ini menandakan pengakuan luas akan identitas Islam yang melekat pada kerajaan Arakan.
Seperti halnya kerajaan-kerajaan Muslim di Gaur dan Delhi, Arakan pun memiliki struktur pemerintahan dengan pejabat-pejabat yang diangkat berdasarkan perintah kerajaan. Kepala pejabat dikenal sebagai Qazi, dan beberapa di antaranya mencatatkan nama mereka dalam sejarah Arakan. Daulat Qazi, Sala Qazi, Gawa Qazi, Shuza Qazi, Abdul Karim, Muhammad Hussain, Osman, Abdul Jabbar, Abdul Gafur, Mohammed Yousuf, Rawsan Ali, dan Nur Mohammed adalah beberapa nama yang muncul dalam catatan sejarah.
Perlahan tapi pasti, sebuah masyarakat dan budaya Muslim bercampur tumbuh dan berkembang di sekitar ibu kota Arakan. Sebuah perpaduan budaya yang unik dan menarik, mencerminkan toleransi dan akulturasi yang terjadi pada masa itu.
Praktik penggunaan nama dan gelar Muslim ini terus berlanjut di kalangan raja-raja Arakan hingga paruh pertama abad ke-17. Hal ini bukan hanya karena keinginan mereka untuk diakui sebagai sultan yang berdaulat, tetapi juga karena jumlah umat Muslim yang semakin besar di antara rakyat mereka.
A.P. Phayre, seorang sejarawan, mengamati bahwa praktik ini mungkin pertama kali diperkenalkan sebagai pemenuhan janji yang dibuat oleh Mung-Somwun, tetapi kemudian dilanjutkan sebagai simbol kedaulatan atas Chittagong. Ia juga mencatat bahwa para raja Arakan mengadopsi tradisi ini sebagai penerus raja-raja Muslim, atau sebagai upaya untuk meniru mode yang berlaku di India.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sejarah tidak selalu hitam putih. Ada masa-masa ketika budaya dan agama saling berinteraksi, menciptakan perpaduan yang unik dan menarik. Arakan pada masa itu adalah contoh nyata dari hal ini.
Pengaruh Islam di Arakan bukan hanya terbatas pada nama dan gelar raja, tetapi juga meresap ke dalam struktur pemerintahan dan kehidupan sosial. Para Qazi memainkan peran penting dalam administrasi kerajaan, dan masyarakat Muslim tumbuh dan berkembang di sekitar ibu kota.
Akulturasi budaya ini menciptakan lanskap sosial yang kompleks dan beragam. Toleransi dan saling pengertian menjadi kunci dalam menjaga harmoni di tengah perbedaan.
Namun, seiring berjalannya waktu, pengaruh Islam di Arakan mulai memudar. Perubahan politik dan sosial di kawasan ini membawa Arakan ke jalur yang berbeda.
Meskipun demikian, jejak pengaruh Islam tetap tertinggal dalam sejarah Arakan. Nama-nama Muslim yang terukir dalam koin-koin kuno, struktur pemerintahan yang diadaptasi dari tradisi Islam, dan komunitas Muslim yang pernah tumbuh dan berkembang di ibu kota, adalah bukti nyata dari masa lalu yang kaya dan kompleks.
Kisah Arakan ini adalah pengingat bahwa sejarah seringkali lebih rumit dan beragam daripada yang kita bayangkan. Interaksi budaya dan agama dapat menghasilkan fenomena yang unik dan menarik, dan warisan masa lalu dapat terus memengaruhi masa kini.
Dengan memahami sejarah Arakan, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang dinamika budaya dan agama di Asia Tenggara. Kita juga dapat belajar tentang pentingnya toleransi dan saling pengertian dalam membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif.
Kisah Arakan ini adalah bagian dari warisan budaya Asia Tenggara, sebuah cerita yang patut untuk diingat dan dipelajari. Ini adalah kisah tentang bagaimana pengaruh budaya dan agama dapat membentuk identitas suatu bangsa, dan bagaimana warisan masa lalu dapat terus relevan di masa kini.
Post a Comment