Header Ads

Strategi Realistis BRIN dalam Mewujudkan Pesawat Tempur LFX-1 dan LFX-2: Pembelajaran dari Negara Lain

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), yang kini telah bergabung ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memiliki ambisi besar dalam pengembangan pesawat tempur dalam negeri. Salah satu konsep yang pernah dikemukakan adalah proyek LFX-1 dan LFX-2, pesawat tempur ringan yang diharapkan menjadi tulang punggung industri pertahanan udara Indonesia di masa depan. Namun, tantangan dalam mewujudkan pesawat tempur ini sangat besar, baik dari segi teknologi, pendanaan, hingga sumber daya manusia yang mumpuni.

Jika melihat pengalaman negara lain, pendekatan dalam mengembangkan pesawat tempur bisa sangat beragam. Salah satu metode yang cukup menarik adalah pendekatan Iran dalam mengembangkan Qaher 313. Iran pertama kali memperkenalkan pesawat ini dalam bentuk miniatur sebelum mengembangkan drone berskala 1:2. Langkah ini memungkinkan mereka untuk menguji aerodinamika dan stabilitas pesawat sebelum memulai produksi dalam skala penuh. Pendekatan ini bisa menjadi inspirasi bagi BRIN dalam mengembangkan LFX-1 dan LFX-2.

Sebagai perbandingan, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Rusia memiliki metode yang lebih kompleks dengan anggaran besar. Amerika Serikat, misalnya, mengembangkan pesawat tempur dengan sistem pengujian digital dan simulasi yang sangat canggih sebelum membangun prototipe fisik. Program seperti F-22 Raptor dan F-35 Lightning II mengandalkan teknologi simulasi dan pengujian aerodinamika di superkomputer sebelum tahap produksi.

Di sisi lain, Rusia memiliki pendekatan yang lebih fleksibel dengan pengembangan bertahap. Pesawat tempur seperti Su-57 dikembangkan melalui serangkaian prototipe yang terus disempurnakan. Rusia juga sering menggunakan uji coba dalam bentuk pesawat skala kecil atau model eksperimental sebelum beralih ke produksi penuh.

China juga mengikuti strategi yang mirip dengan Rusia dalam mengembangkan pesawat tempur mereka. J-20, sebagai pesawat tempur siluman generasi kelima, dikembangkan melalui serangkaian purwarupa yang terus diperbaiki. Mereka menggunakan teknologi reverse engineering dari pesawat Rusia dan Amerika yang berhasil mereka peroleh, sehingga proses pengembangannya lebih cepat dibandingkan negara lain yang memulai dari nol.

Jika melihat pendekatan berbagai negara ini, BRIN perlu mempertimbangkan langkah terbaik dalam mengembangkan LFX-1 dan LFX-2. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengembangkan versi RC (radio-controlled) terlebih dahulu untuk menguji desain aerodinamisnya. Ini dapat dilakukan dengan skala kecil, misalnya 1:10 atau 1:5, sebelum berlanjut ke model skala 1:3 seperti yang dilakukan Iran dengan Qaher 313.

Dengan menggunakan model RC, BRIN dapat menguji berbagai aspek desain, termasuk kestabilan penerbangan, kemampuan manuver, dan efektivitas aerodinamika sebelum beralih ke prototipe berawak. Ini juga akan menghemat biaya dibandingkan langsung membangun prototipe skala penuh yang berisiko tinggi mengalami kegagalan desain.

Setelah pengujian versi RC selesai, langkah selanjutnya adalah mengembangkan versi drone skala 1:2 atau 1:3. Dengan model ini, BRIN dapat menguji berbagai aspek teknis, seperti avionik, sistem kontrol penerbangan, hingga kemampuan stealth yang mungkin ingin diterapkan pada LFX-1 dan LFX-2. Model ini juga bisa digunakan untuk pengujian dalam kondisi lingkungan yang lebih kompleks, seperti cuaca ekstrem dan uji coba pada kecepatan tinggi.

Keuntungan lain dari pendekatan ini adalah memungkinkan Indonesia untuk melakukan pengembangan secara bertahap tanpa harus mengeluarkan anggaran besar dalam satu waktu. Dengan pengembangan bertahap, setiap permasalahan teknis dapat diatasi sebelum masuk ke tahap produksi pesawat dalam ukuran penuh.

Selain pendekatan teknis, BRIN juga perlu menjalin kerja sama dengan negara-negara yang telah memiliki pengalaman dalam pengembangan pesawat tempur. Korea Selatan, misalnya, telah sukses mengembangkan pesawat tempur KF-21 Boramae dengan bantuan teknologi dari Amerika dan Eropa. Kerja sama dengan negara seperti Korea Selatan dapat mempercepat pengembangan pesawat tempur Indonesia, baik dari segi transfer teknologi maupun pendanaan.

Dalam hal manufaktur, BRIN perlu menggandeng industri dalam negeri seperti PT Dirgantara Indonesia (PTDI) agar proses produksi dapat berjalan lebih efisien. PTDI memiliki pengalaman dalam memproduksi berbagai jenis pesawat, meskipun sebagian besar masih dalam kategori pesawat angkut dan sipil. Dengan melibatkan PTDI sejak tahap awal, pengembangan LFX-1 dan LFX-2 dapat lebih realistis dalam skala produksi.

Selain itu, pengembangan pesawat tempur tidak hanya bergantung pada desain aerodinamika, tetapi juga teknologi mesin dan sistem persenjataan. Dalam hal ini, Indonesia perlu bekerja sama dengan negara lain atau mulai mengembangkan industri mesin pesawat sendiri agar tidak bergantung pada pihak asing.

Dari sisi kebijakan, pemerintah juga perlu mendukung pengembangan pesawat tempur ini dengan regulasi yang mempermudah penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan. Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, proyek ini bisa terbengkalai seperti beberapa proyek pertahanan Indonesia sebelumnya.

Pendanaan juga menjadi faktor krusial dalam mewujudkan LFX-1 dan LFX-2. Model pembiayaan bisa dilakukan dengan skema anggaran bertahap atau melalui kerja sama dengan investor swasta dan negara sahabat yang tertarik dengan proyek ini.

Di sisi lain, aspek sumber daya manusia tidak boleh diabaikan. Indonesia perlu melatih lebih banyak insinyur penerbangan dan pakar militer yang dapat mengembangkan dan mengoperasikan pesawat tempur dalam negeri. Ini bisa dilakukan melalui program beasiswa atau kerja sama dengan universitas teknik terbaik di dunia.

Pengujian dan sertifikasi juga menjadi tantangan tersendiri. Indonesia harus memiliki fasilitas uji coba yang memadai agar pengembangan pesawat bisa berjalan lancar. Jika perlu, uji coba awal bisa dilakukan di luar negeri sebelum fasilitas dalam negeri siap digunakan.

Setelah pesawat ini berhasil dikembangkan, langkah selanjutnya adalah produksi massal. BRIN dan PTDI perlu memastikan rantai pasokan industri pertahanan dalam negeri siap untuk mendukung produksi pesawat tempur ini agar tidak bergantung pada komponen impor.

Jika seluruh tahapan ini berjalan dengan baik, Indonesia bisa memiliki pesawat tempur buatan sendiri dalam beberapa dekade mendatang. Keberhasilan proyek ini tidak hanya meningkatkan kemandirian pertahanan, tetapi juga memperkuat industri penerbangan nasional.

Dengan belajar dari pengalaman negara lain dan menerapkan strategi yang sesuai dengan kondisi Indonesia, pengembangan LFX-1 dan LFX-2 bukanlah mimpi yang mustahil. Namun, semua pihak harus berkomitmen agar proyek ini tidak hanya sekadar wacana, tetapi benar-benar menjadi kenyataan.

Dibuat oleh AI
Diberdayakan oleh Blogger.