Jejak Peradaban yang Hilang: 300 Masjid Dihancurkan di Armenia
Baku – Pernyataan mengejutkan disampaikan oleh Juru Bicara Komunitas Azerbaijan Barat, Ulviyya Zulfikar, mengenai kehancuran besar-besaran yang menimpa warisan budaya Azerbaijan di wilayah Armenia. Dalam wawancara terbaru, Zulfikar mengungkapkan bahwa lebih dari 300 masjid telah dihancurkan di Armenia selama dua abad terakhir, sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menghapus jejak kehadiran rakyat Azerbaijan.
Menurut Zulfikar, kehancuran ini bukan sekadar dampak konflik, tetapi bagian dari pola panjang penindasan dan penghapusan identitas etnis dan budaya Azerbaijan di wilayah tersebut. Ia menyebut bahwa rakyat Azerbaijan Barat telah mengalami empat kali deportasi besar-besaran dan genosida sepanjang abad ke-20, menyebabkan luka sejarah yang mendalam dan trauma kolektif yang belum sepenuhnya pulih.
Tak hanya tempat ibadah, kehancuran juga menyasar warisan tak benda yang menjadi bagian penting dari identitas budaya Azerbaijan. Situs-situs kuno seperti caravanserai, jembatan bersejarah, permukiman kuno, hingga ribuan kuburan juga tak luput dari penghapusan. Lebih dari 500 kompleks pemakaman dikabarkan telah diratakan dengan tanah, menyisakan kekosongan dalam jejak sejarah komunitas ini.
Salah satu contoh paling menyakitkan adalah pengakuan atas Masjid Biru yang bersejarah, yang oleh pihak Armenia diklaim sebagai milik bangsa lain. Padahal, masjid tersebut telah sejak lama dikenal sebagai simbol kehadiran dan peradaban rakyat Azerbaijan di wilayah itu. "Ini adalah bentuk penyesatan sejarah yang sangat menyakitkan," ujar Zulfikar.
Komunitas Azerbaijan Barat telah secara aktif mengangkat isu ini ke panggung internasional. Tahun lalu, mereka mengirim surat resmi kepada UNESCO, mendesak pengiriman misi pencari fakta ke Armenia untuk mendokumentasikan dan menilai skala kerusakan warisan budaya tersebut. Namun hingga kini, belum ada tanggapan konkret atas permintaan tersebut.
Dalam tanggapannya, UNESCO memang menyatakan bahwa penghancuran warisan budaya Azerbaijan berada dalam cakupan mandat mereka. Namun, keterlambatan dalam pengiriman misi pencari fakta dinilai mencurigakan oleh pihak Azerbaijan. Mereka menuding Armenia sengaja menghambat proses ini demi menutupi jejak-jejak penghancuran yang terjadi secara sistematis.
"Armenia jelas tidak ingin fakta-fakta ini terungkap. Mereka khawatir dunia akan mengetahui sejauh mana kehancuran itu dilakukan secara sengaja," tegas Zulfikar. Ia juga menambahkan bahwa Komunitas Azerbaijan Barat tidak akan berhenti menyuarakan keadilan, baik untuk rakyatnya maupun untuk warisan sejarah yang telah dirampas.
Meskipun menghadapi tantangan besar, komunitas ini tetap berkomitmen memperjuangkan hak untuk kembali secara damai, aman, dan bermartabat ke tanah leluhur mereka. Mereka menginginkan pengakuan atas penderitaan yang telah terjadi dan pemulihan identitas budaya yang telah dirusak secara sistematis.
Zulfikar menekankan bahwa perjuangan ini bukan semata-mata tentang masa lalu, melainkan tentang hak masa kini dan masa depan untuk hidup dalam kebenaran sejarah. Ia menyerukan kepada masyarakat internasional untuk tidak berpaling dari fakta-fakta yang telah jelas terungkap dan bertindak atas nama keadilan.
Penghancuran lebih dari 300 masjid dianggap sebagai salah satu tragedi budaya terbesar di kawasan tersebut. Ini mencerminkan bagaimana konflik dapat berdampak bukan hanya pada kehidupan manusia, tetapi juga pada warisan dan identitas bangsa yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Zulfikar juga menyampaikan kekhawatiran bahwa jika tindakan ini tidak dihentikan, maka dunia bisa kehilangan lebih banyak lagi situs budaya yang tak ternilai. Ia menekankan bahwa warisan budaya bukan hanya milik satu bangsa, tetapi milik umat manusia secara keseluruhan.
Komunitas Azerbaijan Barat kini terus mendokumentasikan bukti-bukti kehancuran tersebut dan membawanya ke berbagai forum internasional. Mereka berharap tekanan global dapat mendorong Armenia untuk mengakui dan bertanggung jawab atas tindakan yang telah merusak sejarah dan kemanusiaan.
Mereka juga menuntut agar rekonstruksi situs-situs bersejarah dapat segera dilakukan dengan pengawasan internasional guna memastikan keasliannya tetap terjaga. Upaya ini dinilai sebagai langkah penting untuk pemulihan hubungan dan pengakuan sejarah yang objektif.
Dalam penutup pernyataannya, Zulfikar menyatakan bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan dan kebenaran sejarah diakui. Ia menyerukan solidaritas global demi menjaga warisan budaya yang menjadi identitas kolektif umat manusia.
Kasus ini membuka mata dunia terhadap dampak dari politik penghapusan budaya, sebuah fenomena yang kini banyak terjadi dalam konflik etnis di berbagai penjuru dunia. Komunitas internasional dihadapkan pada pertanyaan penting: akankah mereka membiarkan sejarah terhapus begitu saja?
Dengan semakin banyaknya bukti yang terungkap, tekanan terhadap lembaga-lembaga internasional seperti UNESCO pun semakin besar. Dunia menanti langkah nyata untuk menanggapi tragedi ini, bukan hanya dengan pernyataan, tetapi juga dengan tindakan konkret yang berpihak pada keadilan dan pelestarian sejarah.
Post a Comment