Sejarah Kerajaan Pagaruyung dan Masyarakat Batak di Labuhan Batu dan Pemekarannya
BATAK ISLAM ONLINE -- Pada awal abad ke-16 berangkatlah tiga orang anak Sultan Alamsyah Syaifuddin dari Pagaruyung melalui Tapanuli Selatan menuju arah pesisir Sumatera Timur. Rombongan ini terdiri dari Batara Sinomba dan adiknya Batara Guru Pinayung beserta adik tiri perempuan mereka Puteri Lenggani. Di dekat Gunung Malea, Batara Guru Pinayung memisahkan diri karena menikah di Penyabungan Mandailing dan diangkat menjadi Raja di sana dan diangkat menjadi bermarga Nasution. Ikut bersamanya seekor anjing bernama Cempaga Tua dan dua ekor ayam kinantan. Inilah yang menjadi cikal bakal adanya kerajaan di daerah Mandailing.
Rombongan Batara Guru Sinomba melanjutkan perjalanan sampai di Otang Momok (Pinang Awan) atau Kuala Teritis. Di daerah ini telah dihuni penduduk asli yaitu suku Batak marga Tamba dan marga Dasopang. Antara kedua marga Batak ini selalu terjadi perang karena keduanya ingin menjadi pemimpin di negeri Pinang Awan. Dari hasil kesepakatan kedua marga ini, maka dicarilah seorang suku pendatang di luar kedua marga ini untuk menjadi pemimpin yang dapat mengayomi kedua suku ini secara adil. Kedatangan Batara Sinomba yang diyakini sakti ke daerah Pinang Awan menjadikan dirinya dipilih oleh marga Tamba dan Dasopang menjadi raja pertama daerah ini dan mengakhiri konflik berkepanjangan antara kedua marga suku Batak ini.
Berdasarkan sejumlah bukti sejarah berupa kuburan dan sebagainya, diperkirakan Kotapinang telah berdiri sejak 250 tahun lalu. Asal nama Kotapinang sendiri diambil dari kata Huta Pinangaon, yang artinya pinang yang mengawan atau pinang yang menjulang sampai ke awan. Pinang itu menurut cerita tumbuh di depan istana kesultanan Kotapinang.
Jumlah penduduk Batak baik dari marga Tamba maupun Dasopang sangat besar. Dalam kepemimpinan Batara Sinomba, suku Batak marga Tamba dan Dasopang juga memilih pergi dari perkampungan tersebut untuk membuka perkampungan baru. Dalam masa pemerintahan raja itu juga diciptakan sistim keamanan dan rakyat setia kepada raja. Setelah raja meninggal dunia, maka otomatis kekuasaan beralih ke tangan anaknya dari istrinya putri Dasopang dinamakan Sultan Nusa bergelar Marhom Mangkat di Jambu.
Sultan Nusa (Marhom Mangkat di Jambu) kemuadian memindahkan istana Kotapinang ke hilir sungai Barumun tepatnya di seberang Labuhan Lama, puing kerajaan itu sampai kini masih dapat dilihat. Permaisurinya bernama Ibu Gahara putri Dasopang melahirkan 2 putra bernama Maharaja Awan (Sultan Syahir Alam) dan Maharaja Hulubalang serta seorang putri bernama Siti Onggu. Kemudian, Sultan Nusa menikah lagi dengan seorang selir putri Tamba dan mempunyai putra bernama Kain (Raja Indra Tahir Alam) dan Suman (Raja Segar Alam) serta putri Siti Putih dan Siti Kuning.
Selir menghasut Sultan Nusa (Marhom Mangkat di Jambu) agar puteranyalah yang akan menggantikan kelaksebagai raja, sehingga kedua orang putera raja dari Ibu Gahara itu lalu diusir. Akhirnya permaisuri dan kedua anaknya minta tolong kepada Sultan Aceh Syah Johan yang balatenteranya kebetulan lewat di situ. Sultan Aceh ini lalu mengirim pasukan dipimpin Raja Muda Pidie. Pasukan Aceh lalu membunuh Sultan Nusa dekat sebuah pohon Jambu, dan mengangkat kedua orang putera raja dari ibu gahara itu sebagai raja disana. Sebagai balas jasa, Sultan Syah Johan mengambil Siti Onggu sebagai isterinya dan dibawa ke Aceh. Selain itu, Siti Kuning menikah dengan Raja Muda Pidie yang memimpin serangan tersebut.
Semenjak kematian Sultan Musa, Kesultanan Kotapinang dipimpin oleh Maharaja Awan yang bergelar Marhom Mangkat di Tasik dan keturunanya. Berikut adalah silisilah dari raja-raja di Kotapinang:
1. Batara Guru Sinomba
2. Sultan Nusa
3. Sultan Syahir Alam (Maharaja Awan)
4. Sultan Kohar
5. Yang Dipertuan Muda Hotang Mumuk
6. Sultan Kumala Marhum Tua
7. Yang Dipertuan Muda Simarkaluang
8. Sultan Tua Kotapinang
9. Sultan Bungsu Pulau Biromata
10. Sultan Moestafa (Revolusi Sosial 1946)
Demikianlah raja-raja Kesultanan Kotapinang hingga revolusi Sosial 1946 yang menghapuskan system feodalisme kerajaan di Suatera Timur. Kalangan kerajaan mempunyai keturunan Minangkabau bercampur Batak, sedangkan masyarakatnya masih keturunan Batak marga Dasopang dan Tambak yang jumlahnya sangat besar.
C. Pendirian Kesultanan Bilah oleh Raja Indra Tahir Alam
Setelah terbunuhnya Sultan Nusa oleh Sultan Aceh Syah Johan atas permintaan permaisuri Ibu Gahara Dasopang, Kesultanan Kotapinang dipimpin oleh Sultan Syahir Alam (Maharaja Awan). Terpaksa Raja Indra Tahir Alam mengungsi ke dekat pesisir sungai Bilah dan membuka perkampungan Sungai Abal. Ia menikah dengan boru Dalimunte yang merupakan penduduk asli wilayah Bilah, dan mempunyai anak bernama Raja Yunus (Marhom Mangkat di Gunung Suasa).
Raja Yunus kemudian meneruskan pemerintahan baru bernama Kesultanan Panai di pesisir. Ia mempunyai empat orang putera yaitu:
1. Raja Nulong (Marhom Mangkat di Si Pege), menjadi penerus Kesultanan Panai
2. Raja Laut, berkuasa di Bandar Kudoh.
3. Raja Mashor, berkuasa di Air Bilah.
4. Raja Jumahat, berkuasa di Negeri Lama dan Tanjung Pagus.
Namun dalam perjalanannya, Raja Jumahat menyerang saudaranya Raja Laut di Bandar Kudoh dan Raja Mashor di Air Bilah. Hal ini menjadikan Raja Jumahat menjadi penguasa utama di wilayah Bilah. Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Bilah:
1. Raja Indra Tahir Alam (Marhom Mangkat di Gunung Suasa)
2. Raja Jumahat gelar Sutan Bidar Alam (Marhom Mangkat di Aloban)
3. Marhom Sakti
4. Sutan Indar Alam (Marhom Mangkat di Sei Abal)
5. Tengku Musa Sutan Bidar Alam (Marhom Mangkat di Kota)
6. Sutan Adil Bidar Alamsyah (Marhom Mangkat di Negeri Lama)
Demikianlah raja-raja Kesultanan Bilah hingga revolusi Sosial 1946 yang menghapuskan system feodalisme kerajaan di Sumatera Timur. Kalangan kerajaan mempunyai keturunan Minangkabau bercampur Batak, sedangkan masyarakatnya masih keturunan Batak marga Dalimunthe yng jumlahnya sangat besar.
D. Pendirian Kesultanan Panai oleh Raja Jumahat (Sultan Bidar Alam)
Raja Nulong yang merupakan putra Sultan Yunus diberikan wilayah Kesultanan Panai. Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Panai:
1. Raja Nulong (Marhom Mangkat di Si Pege I)
2. Marhom Mangkat di Si Pege II
3. Marhom Mangkat di Mesigit
4. Marhom Saleh
5. Marhom Sati (Marhom Mangkat di Negri Baru)
6. Marhom Mangkat di Labuhan Bilik
7. Sutan Gagar Alam (Marhom Sakti)
Demikianlah raja-raja Kesultanan Panai hingga revolusi Sosial 1946 yang menghapuskan system feodalisme kerajaan di Suatera Timur. Kalangan kerajaan mempunyai keturunan Minangkabau bercampur Batak, sedangkan masyarakatnya masih keturunan Batak marga Dalimunthe yng jumlahnya sangat besar.
F. Hubungan Kesultanan Asahan dengan Kesultanan Kotapinang, Bilah dan Panai.
Kesultanan Asahan mempunyai hubungan darah dengan Kasultanan Kotapinang, Bilah dan Panai. Sultan Nusa yang merupakan anak Batara Guru Sinomba, pendiri Kesultanan Kotapinang, mempunyai tujuh orang anak baik dari permaisurinya Ibu Gahara Dasopang maupun selirnya putri Tamba, yaitu:
1. Raja Indra Tahir Alam (nama asli Kain), “Marhom Mangkat di Gunung Suasa”. Keturunannya menjadi raja-raja Kesultanan Bilah dan Kesultanan Panai.
2. Raja Segar Alam (nama Suman), “Marhom Mangkat di Sungai Toras”.
3. Maharaja Awan (Sultan Syahir Alam), “Marhom Mangkat di Tasik”. Keturunannya menjadi Raja-raja Kesultanan Kotapinang.
4. Siti Onggu (pr) dibawa oleh rombongan Aceh dan menikah dengan Sultan Aceh Syah Johan. Keturunannya kelak menjadi raja-raja Kesultanan Asahan.
5. Siti Kuning (pr), dibawa oleh rombongan Aceh dan menikah dengan Raja Muda Pidie.
6. Maharaja Hulubalang, menjadi raja di Rantau Binuang (Rokan-Riau).
7. Siti Putih (pr), menikah dengan Yang Dipertuan Tambusai.
Dari keterangan di atas diketahui bahwa Siti Onggu dinikahkan dengan Sultan Aceh Syah Johan sebagai balas jasa Ibu Gahara boru Dasopang atas terbunuhnya Sultan Nusa. Sultan Nusa dihasut oleh selirnya boru Tamba untuk menjadikan Raja Tahir Indra Alam sebagai raja menggantikan Sultan Nusa dan juga mengusir permaisuri Ibu Gahara boru Dasopang beserta ketiga anaknya dari istana. Hal ini membuat Ibu Gahara dan anak-anaknya meminta pertolongan kepada Sultan Aceh untuk membunuh Sultan Nusa. Kemudian Sultan Aceh Syah Johan membawa serta Siti Onggu ke kesultanan Aceh sebagai balas jasa.
Kedatangan Sultan Aceh Syah Johan saat itu sebenarnya dalam rangka pencarian Putri Hijau asal Kerajaan Haru yang melarikan diri dari kapal mereka saat hendak dibawa ke Aceh. Dalam pencarian itu, pasukan Sultan Aceh itu tiba di daerah Asahan hilir, namun tidak menemui satupun penduduk. Hingga akhirnya mereka menyusuri hulu dan bertemu penduduk Batak Pardembanan marga Simargolang yang tidak dapat berbahasa Melayu. Salah seorang bernama Bayak Lengga Haroharo dapat berbahasa Melayu dan menjelaskan tentang daerah tersebut.
Setelah sekian lama, kembalilah Sultan Aceh Syah Johan beserta pasukannya ke Aceh membawa serta Siti Onggu. Maharaja Awan dan Maharaja Hulubalang yang rindu kepada saudarinya meminta agar Bayak Lengga Haroharo mengantar mereka ke Aceh bertemu Sultan Syah Johan dan adiknya. Setelah sampai mereka melihat adiknya dalam keadaan hamil besar dan memohon agar Siti Onggu diperkenankan dibawa pulang ke Kotapinang. Sultan Acaeh Syah Johan menjatuhkan talaq dan meminta agar Bayak Lengga Haroharo menjadikan Siti Onggu istrinya serta kelak anak yang dalam kandungannya menjadi Sultan Asahan pertama yang pastinya akan tunduk kepada Kesultanan Aceh. Setelah lahirnya anak Siti Onggu diberi nama Sultan Abdul Jalil menjadi Sultan Asahan pertama diikuti oleh keturunannya.
G. Kesimpulan
Dari informasi sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa penduduk asli wilayah Bilah dan Panai di Labuhan Batu sekarang adalah suku Batak bermarga Dalimunthe, bahkan permaisuri raja-raja dipilih dari penduduk asli untuk memuluskan kekuasaan mereka. Di sisi lain, kaum kerajaan masih mempunyai darah Minangkabau pihak ayah yang bercampur Batak dari pihak ibu. Itupun jumlah anggota pihak kerajaan tidak seberapa dibandingkan dengan penduduk Batak yang sudah bermukim lebih dahulu di sana. Tidak dapat dikatakan bahwa budaya Labuhan Batu (Bilah dan Panai) merupakan budaya Melayu, namun Budaya Batak Angkola. Hal ini disebabkan dominasi budaya Batak lebih besar dibandingkan budaya Minangkabau, bukan Melayu. Batak adalah Batak, Minangkabau adalah Minangkabau, bukan Melayu.
Sumber:
http://sejarah-labuhanbatu.blogspot.com/2011/03/kerajaan-bilah.html
http://sejarah-labuhanbatu.blogspot.com/2011/03/kerajaan-panai.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16567/4/Chapter%20II.pdf
http://fsilaturrahmi.blogspot.com/2012/01/sejarah-kota-melayu.html
http://raja-mataniari.blogspot.com/2012/07/sejarah-labura.html
http://www.royalark.net/Indonesia/asahan.htm
Rombongan Batara Guru Sinomba melanjutkan perjalanan sampai di Otang Momok (Pinang Awan) atau Kuala Teritis. Di daerah ini telah dihuni penduduk asli yaitu suku Batak marga Tamba dan marga Dasopang. Antara kedua marga Batak ini selalu terjadi perang karena keduanya ingin menjadi pemimpin di negeri Pinang Awan. Dari hasil kesepakatan kedua marga ini, maka dicarilah seorang suku pendatang di luar kedua marga ini untuk menjadi pemimpin yang dapat mengayomi kedua suku ini secara adil. Kedatangan Batara Sinomba yang diyakini sakti ke daerah Pinang Awan menjadikan dirinya dipilih oleh marga Tamba dan Dasopang menjadi raja pertama daerah ini dan mengakhiri konflik berkepanjangan antara kedua marga suku Batak ini.
Berdasarkan sejumlah bukti sejarah berupa kuburan dan sebagainya, diperkirakan Kotapinang telah berdiri sejak 250 tahun lalu. Asal nama Kotapinang sendiri diambil dari kata Huta Pinangaon, yang artinya pinang yang mengawan atau pinang yang menjulang sampai ke awan. Pinang itu menurut cerita tumbuh di depan istana kesultanan Kotapinang.
Jumlah penduduk Batak baik dari marga Tamba maupun Dasopang sangat besar. Dalam kepemimpinan Batara Sinomba, suku Batak marga Tamba dan Dasopang juga memilih pergi dari perkampungan tersebut untuk membuka perkampungan baru. Dalam masa pemerintahan raja itu juga diciptakan sistim keamanan dan rakyat setia kepada raja. Setelah raja meninggal dunia, maka otomatis kekuasaan beralih ke tangan anaknya dari istrinya putri Dasopang dinamakan Sultan Nusa bergelar Marhom Mangkat di Jambu.
Sultan Nusa (Marhom Mangkat di Jambu) kemuadian memindahkan istana Kotapinang ke hilir sungai Barumun tepatnya di seberang Labuhan Lama, puing kerajaan itu sampai kini masih dapat dilihat. Permaisurinya bernama Ibu Gahara putri Dasopang melahirkan 2 putra bernama Maharaja Awan (Sultan Syahir Alam) dan Maharaja Hulubalang serta seorang putri bernama Siti Onggu. Kemudian, Sultan Nusa menikah lagi dengan seorang selir putri Tamba dan mempunyai putra bernama Kain (Raja Indra Tahir Alam) dan Suman (Raja Segar Alam) serta putri Siti Putih dan Siti Kuning.
Selir menghasut Sultan Nusa (Marhom Mangkat di Jambu) agar puteranyalah yang akan menggantikan kelaksebagai raja, sehingga kedua orang putera raja dari Ibu Gahara itu lalu diusir. Akhirnya permaisuri dan kedua anaknya minta tolong kepada Sultan Aceh Syah Johan yang balatenteranya kebetulan lewat di situ. Sultan Aceh ini lalu mengirim pasukan dipimpin Raja Muda Pidie. Pasukan Aceh lalu membunuh Sultan Nusa dekat sebuah pohon Jambu, dan mengangkat kedua orang putera raja dari ibu gahara itu sebagai raja disana. Sebagai balas jasa, Sultan Syah Johan mengambil Siti Onggu sebagai isterinya dan dibawa ke Aceh. Selain itu, Siti Kuning menikah dengan Raja Muda Pidie yang memimpin serangan tersebut.
Semenjak kematian Sultan Musa, Kesultanan Kotapinang dipimpin oleh Maharaja Awan yang bergelar Marhom Mangkat di Tasik dan keturunanya. Berikut adalah silisilah dari raja-raja di Kotapinang:
1. Batara Guru Sinomba
2. Sultan Nusa
3. Sultan Syahir Alam (Maharaja Awan)
4. Sultan Kohar
5. Yang Dipertuan Muda Hotang Mumuk
6. Sultan Kumala Marhum Tua
7. Yang Dipertuan Muda Simarkaluang
8. Sultan Tua Kotapinang
9. Sultan Bungsu Pulau Biromata
10. Sultan Moestafa (Revolusi Sosial 1946)
Demikianlah raja-raja Kesultanan Kotapinang hingga revolusi Sosial 1946 yang menghapuskan system feodalisme kerajaan di Suatera Timur. Kalangan kerajaan mempunyai keturunan Minangkabau bercampur Batak, sedangkan masyarakatnya masih keturunan Batak marga Dasopang dan Tambak yang jumlahnya sangat besar.
C. Pendirian Kesultanan Bilah oleh Raja Indra Tahir Alam
Setelah terbunuhnya Sultan Nusa oleh Sultan Aceh Syah Johan atas permintaan permaisuri Ibu Gahara Dasopang, Kesultanan Kotapinang dipimpin oleh Sultan Syahir Alam (Maharaja Awan). Terpaksa Raja Indra Tahir Alam mengungsi ke dekat pesisir sungai Bilah dan membuka perkampungan Sungai Abal. Ia menikah dengan boru Dalimunte yang merupakan penduduk asli wilayah Bilah, dan mempunyai anak bernama Raja Yunus (Marhom Mangkat di Gunung Suasa).
Raja Yunus kemudian meneruskan pemerintahan baru bernama Kesultanan Panai di pesisir. Ia mempunyai empat orang putera yaitu:
1. Raja Nulong (Marhom Mangkat di Si Pege), menjadi penerus Kesultanan Panai
2. Raja Laut, berkuasa di Bandar Kudoh.
3. Raja Mashor, berkuasa di Air Bilah.
4. Raja Jumahat, berkuasa di Negeri Lama dan Tanjung Pagus.
Namun dalam perjalanannya, Raja Jumahat menyerang saudaranya Raja Laut di Bandar Kudoh dan Raja Mashor di Air Bilah. Hal ini menjadikan Raja Jumahat menjadi penguasa utama di wilayah Bilah. Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Bilah:
1. Raja Indra Tahir Alam (Marhom Mangkat di Gunung Suasa)
2. Raja Jumahat gelar Sutan Bidar Alam (Marhom Mangkat di Aloban)
3. Marhom Sakti
4. Sutan Indar Alam (Marhom Mangkat di Sei Abal)
5. Tengku Musa Sutan Bidar Alam (Marhom Mangkat di Kota)
6. Sutan Adil Bidar Alamsyah (Marhom Mangkat di Negeri Lama)
Demikianlah raja-raja Kesultanan Bilah hingga revolusi Sosial 1946 yang menghapuskan system feodalisme kerajaan di Sumatera Timur. Kalangan kerajaan mempunyai keturunan Minangkabau bercampur Batak, sedangkan masyarakatnya masih keturunan Batak marga Dalimunthe yng jumlahnya sangat besar.
D. Pendirian Kesultanan Panai oleh Raja Jumahat (Sultan Bidar Alam)
Raja Nulong yang merupakan putra Sultan Yunus diberikan wilayah Kesultanan Panai. Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Panai:
1. Raja Nulong (Marhom Mangkat di Si Pege I)
2. Marhom Mangkat di Si Pege II
3. Marhom Mangkat di Mesigit
4. Marhom Saleh
5. Marhom Sati (Marhom Mangkat di Negri Baru)
6. Marhom Mangkat di Labuhan Bilik
7. Sutan Gagar Alam (Marhom Sakti)
Demikianlah raja-raja Kesultanan Panai hingga revolusi Sosial 1946 yang menghapuskan system feodalisme kerajaan di Suatera Timur. Kalangan kerajaan mempunyai keturunan Minangkabau bercampur Batak, sedangkan masyarakatnya masih keturunan Batak marga Dalimunthe yng jumlahnya sangat besar.
F. Hubungan Kesultanan Asahan dengan Kesultanan Kotapinang, Bilah dan Panai.
Kesultanan Asahan mempunyai hubungan darah dengan Kasultanan Kotapinang, Bilah dan Panai. Sultan Nusa yang merupakan anak Batara Guru Sinomba, pendiri Kesultanan Kotapinang, mempunyai tujuh orang anak baik dari permaisurinya Ibu Gahara Dasopang maupun selirnya putri Tamba, yaitu:
1. Raja Indra Tahir Alam (nama asli Kain), “Marhom Mangkat di Gunung Suasa”. Keturunannya menjadi raja-raja Kesultanan Bilah dan Kesultanan Panai.
2. Raja Segar Alam (nama Suman), “Marhom Mangkat di Sungai Toras”.
3. Maharaja Awan (Sultan Syahir Alam), “Marhom Mangkat di Tasik”. Keturunannya menjadi Raja-raja Kesultanan Kotapinang.
4. Siti Onggu (pr) dibawa oleh rombongan Aceh dan menikah dengan Sultan Aceh Syah Johan. Keturunannya kelak menjadi raja-raja Kesultanan Asahan.
5. Siti Kuning (pr), dibawa oleh rombongan Aceh dan menikah dengan Raja Muda Pidie.
6. Maharaja Hulubalang, menjadi raja di Rantau Binuang (Rokan-Riau).
7. Siti Putih (pr), menikah dengan Yang Dipertuan Tambusai.
Dari keterangan di atas diketahui bahwa Siti Onggu dinikahkan dengan Sultan Aceh Syah Johan sebagai balas jasa Ibu Gahara boru Dasopang atas terbunuhnya Sultan Nusa. Sultan Nusa dihasut oleh selirnya boru Tamba untuk menjadikan Raja Tahir Indra Alam sebagai raja menggantikan Sultan Nusa dan juga mengusir permaisuri Ibu Gahara boru Dasopang beserta ketiga anaknya dari istana. Hal ini membuat Ibu Gahara dan anak-anaknya meminta pertolongan kepada Sultan Aceh untuk membunuh Sultan Nusa. Kemudian Sultan Aceh Syah Johan membawa serta Siti Onggu ke kesultanan Aceh sebagai balas jasa.
Kedatangan Sultan Aceh Syah Johan saat itu sebenarnya dalam rangka pencarian Putri Hijau asal Kerajaan Haru yang melarikan diri dari kapal mereka saat hendak dibawa ke Aceh. Dalam pencarian itu, pasukan Sultan Aceh itu tiba di daerah Asahan hilir, namun tidak menemui satupun penduduk. Hingga akhirnya mereka menyusuri hulu dan bertemu penduduk Batak Pardembanan marga Simargolang yang tidak dapat berbahasa Melayu. Salah seorang bernama Bayak Lengga Haroharo dapat berbahasa Melayu dan menjelaskan tentang daerah tersebut.
Setelah sekian lama, kembalilah Sultan Aceh Syah Johan beserta pasukannya ke Aceh membawa serta Siti Onggu. Maharaja Awan dan Maharaja Hulubalang yang rindu kepada saudarinya meminta agar Bayak Lengga Haroharo mengantar mereka ke Aceh bertemu Sultan Syah Johan dan adiknya. Setelah sampai mereka melihat adiknya dalam keadaan hamil besar dan memohon agar Siti Onggu diperkenankan dibawa pulang ke Kotapinang. Sultan Acaeh Syah Johan menjatuhkan talaq dan meminta agar Bayak Lengga Haroharo menjadikan Siti Onggu istrinya serta kelak anak yang dalam kandungannya menjadi Sultan Asahan pertama yang pastinya akan tunduk kepada Kesultanan Aceh. Setelah lahirnya anak Siti Onggu diberi nama Sultan Abdul Jalil menjadi Sultan Asahan pertama diikuti oleh keturunannya.
G. Kesimpulan
Dari informasi sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa penduduk asli wilayah Bilah dan Panai di Labuhan Batu sekarang adalah suku Batak bermarga Dalimunthe, bahkan permaisuri raja-raja dipilih dari penduduk asli untuk memuluskan kekuasaan mereka. Di sisi lain, kaum kerajaan masih mempunyai darah Minangkabau pihak ayah yang bercampur Batak dari pihak ibu. Itupun jumlah anggota pihak kerajaan tidak seberapa dibandingkan dengan penduduk Batak yang sudah bermukim lebih dahulu di sana. Tidak dapat dikatakan bahwa budaya Labuhan Batu (Bilah dan Panai) merupakan budaya Melayu, namun Budaya Batak Angkola. Hal ini disebabkan dominasi budaya Batak lebih besar dibandingkan budaya Minangkabau, bukan Melayu. Batak adalah Batak, Minangkabau adalah Minangkabau, bukan Melayu.
Sumber:
http://sejarah-labuhanbatu.blogspot.com/2011/03/kerajaan-bilah.html
http://sejarah-labuhanbatu.blogspot.com/2011/03/kerajaan-panai.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16567/4/Chapter%20II.pdf
http://fsilaturrahmi.blogspot.com/2012/01/sejarah-kota-melayu.html
http://raja-mataniari.blogspot.com/2012/07/sejarah-labura.html
http://www.royalark.net/Indonesia/asahan.htm
Post a Comment