Apakah Abdurrauf as-Singkili Orang Pakpak Boang?
ilustrasi |
Sumber |
Sumber |
Baca: Hamzah Fansuri dan Barus
Baca: Kerajaan Linge Gayo
Pada 1637, karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang terbit di Aceh telah dilarang dan dimusnahkan atas perintah Raja Aceh, Sultan Iskandar Tsani, berdasarkan fatwa ulama istana Aceh, Nuruddin Al Raniri, yang menyatakan ajaran tasawuf aliran wujudiyah sebagai ajaran atau aliran sesat. (baca)
Dalam buku yang sama, A Teeuw juga menyebutkan, kenapa sastra Indonesia lahir pada 1920, karena pada tahun-tahun itu para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Dan karena dilarang di bidang politik (oleh Kolonial Belanda), mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra bagi pemikiran, perasaan, emosi, dan cita-cita baru yang mulai mengalir dalam diri mereka (lihat halaman 18). (sumber)
Bandingkan dengan biografinya di wikipedia:
Makam Syaikh Abdurrauf al-singkili alias Syiah Kuala (bercungkup) di desa Deah Raya di muara Krueng Aceh di Banda Aceh
Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.
Menurut riwayat masyarakat, keluarganya diduga berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Namun hal itu belum dapat dipastikan karena minimnya catatan sejarah keluarganya, serta tidak didukung nama keluarga yang mencirikan keturunan Arab ataupun Persia. Beberapa ahli berpendapat bahwa ia merupakan putra asli pribumi beretnis Minang Pesisir di Singkil yang yang telah menganut agama Islam pada masa itu. Pendapat lain mengatakan dari etnis Batak Singkil beregama Islam yang tidak diketahui lagi marganya. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.
Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884
Dakwah dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
Baca: Perang Sisingamangaraja XII
Post a Comment