Sejarah Islam di Tanah Karo, Sumatera Utara
Kabupaten Karo berlokasi di dataran tinggi Karo, Bukit Barisan Sumatra Utara. Terletak sejauh 77 km dari kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatra Utara. Wilayah Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut. Karena berada di ketinggian tersebut, Tanah Karo Simalem, nama lain dari kabupaten ini mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16 sampai 17° C.
Masa pra sejarah hingga 7-12 M.
Islam masuk ke Sumatera melalui Barus yang saat itu merupakan kota perdagangan. Dari sana Islam masuk ke pedalaman khususnya ke wilayah Karo dan Sumatera pada umumnya.
Barus telah lama menjadi bandar internasional yang menjadi tempat pemberhentian kapal-kapal di musim tertentu dari Yunani, Arab, Armenia, Tamil, Persia, India dll yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Lobu Tua dan eksistensi Makan Mahligai, Makam Papan Tinggi dan lain sebagainya. Di era ini tumbuh kerajaan Islam pertama di Sumatera termasuk Lambri atau Lamuri, Daya Pasai, Perlak dan lain sebagainya.
Menurut Baharuddin Pardosi Islam semakin kuat di tanah Karo pada sekitar tahun 456 Hijriyah atau 1062 Masehi pada abad.
Abad 12-15 Masehi.
Beberapa daerah di Sumatera termasuk Karo dan sekitarnya mendapat pengaruh maupun penguasaan dari kedatuan Sriwijaya, Samudera Pasai, Majapahit (ekspedisi Pamalayu), Pagaruyung dan belakangan Aceh Darussalam termasuk Kerajaan Aru, Nagur, Panai dan lain sebagainya. Kerajaan Haru yang terkenal di pesisir Timur Sumatera Utara diyakini merujuk pada kerajaan yang didirikan oleh orang-orang Karo.
Salah satu tokoh yang terkenal dari Barus adalah Hamzah Fansuri. Meski begitu tokoh ini juga dikenal sebagai bagian dari Aceh Singkil meski kata Fansuri adalah sebutan Arab untuk Barus. Murid-murid beliau kemudian menggunakan laqab Al Shingkili dan Al Sumatrani.
Hamzah Fansuri dikenal sebagai tokoh sufi ahli tata bahasa Melayu yang membuat bahasa Melayu Barus menjadi standar di nusantara yang belakangan diadopsi menjadi bahasa Indonesia.
Barus juga belakangan dikenal sebagai Titik Nol Islam Nusantara yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo di era pertama pemerintahannya (2014-2019) yang didorong oleh sejumlah tokoh termasuk putra Pakkat Syeikh Ali Akbar Marbun (cucu dari ibu seorang panglima Sisingamangaraja XII) Rais Syuriah PBNU dan pembina Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI).
Abad ke-15 sampai 18 Masehi.
Pada abad ini warga Karo ikut berperanan penting dalam peta politik kawasan khususya di Aceh Darussalam, Kesultanan Deli, Hamparan Perak, Suggal dan lain sebagainya di pesisir Timur bahkan sampai ke Malaka, Johor dan Riau.
Kisah kiprah politik mereka tergambar dalam yang menjadi petinggi di beberapa naskah termasuk Riwayat Hamparan Perak, Sulalatus Salaton, Tajussalatin, Bustanus Salatin dan lain sebagainya.
Di era ini pula terdapat nama besar pada Riwayat Hamparan Perak yang dipercaya tempat berkuasa orang Karo Muslim seorang Tokoh Guru Patimpus yang merupakan cucu Sisingamangaraja pertama melalui anaknya Tuan si Raja Hita. Menurut kronik Raja Barus Hilir, Sisingamangaraja pertama merupakan anak dari Tuan Ibrahimsyah di Bakkara sebelum meneruskan perjalanan ke Barus dari Tarusan, Inderapura, Pagaruyung sekarang berada di Sumatera Barat.
Guru Patimpus mempunyai keturunan raja-raja termasuk banyak ulama di Sumatera Utara.
Pada era ini ekspedisi Pamalayu Majapahit penerus Singosari bersama Pagaruyung ikut mewarnai sejarah Sumatera Utara termasuk di Tanah Karo.
Selain ekspedisi Tuan Ibrahimsyah ke Barus sebelumnya terdapat juga ekspedisi pendiri Kesultanan Kota Pinang di Labuhan Batu Selatan sekarang bernama Sultan Batara Sinomba atau Batara Gurga Pinayungan Tuanku Raja Nan Sakti, leluhur marga Nasution atau nan saktion, putra Sultan Alamsyah Syaifuddin yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung pada 1630-an.
Begitu juga Gocah Pahlawan panglima Aceh yang menjadi ikon Kesultanan Deli juga merupakan keturunan Pagaruyung.
Konstalasi politik saat itu termasuk invasi Rajendra Chola dari India ke Sumatera turut mempengaruhi sosial budaya pada masyarakat Karo termasuk asal usul marga.
Abad ke-18 sampai abad 20 Masehi.
Masyarakat Islam Karo terus memainkan peranan dalam pembangunan masyarakat di kawasan saat itu termasuk era masuknya Eropa san menguatnya posisi Inggris, Belanda dan belakangan Jepang.
Di era ini termashur nama Datuk Sunggal atau Badiuzzaman Surbakti tokoh Karo penentang penjajahan Belanda.
Menurut Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Tuan Guru Haji Sulaiman Tarigan, Islam mengalami perkembangan di Tanah Karo pada era ini. Silahkan lihat video kami sebelumnya untuk perkembangan Islam di kawasan.
Para mubalig dan dai dari Aceh termasuk Gayo, Alas, Singkil sekitarnya di era ini dikenal oleh masyarakat tanah Karo di antaranya:
1. Tengku Muda yang mengembangkan Islam kepada beberapa keluarga di Tiga Beringin.
2. Tengku Lau Bahun yang mengembangkan Islam di sekitar daerah desa Lingga. Tengku Lau Bahun wafat karena dibunuh dan kuburannya terletak di desa Lingga.
3. Tengku Tambak Malem mengembangkan Islam di sekitar desa Meriah.
4. Putra Adi Genali dan Tengku Datuk dan lain-lain.
Peran ulama Aceh tidak saja pada pengajaran Islam tapi juga pada pengobatan dan ilmu-ilmu kebatinan.
Ketekunan mereka membuahkan hasil sehingga dalam dunia pengobatan tradisional (tabib atau dukun) di kalangan masyarakat Karo tak jarang dijumpai mengucapkan Bismillahirrahmanirrohim dan diakhiri dengan ucapan qabol berkat la ilaha illa Allah walaupun tabib tersebut bisa saja tidak memperkenalkan diri sebagai Muslim.
Geliat dakwah dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat Karo semakin berkembang awal abad XX ditandai dengan adanya tokoh seperto Juan Tarigan, Haji Sulaiman Tarigan daln lain-lain.
Putra Haji Sulaiman Tarigan inilah pada tahun 1946 diangkat oleh pemerintah sebagai kepala Jawatan Agama pertama di tanah Karo.
Usai era kebangkitan nasional di Indonesia pada era setelah 1920-an ormas-ormas Islam di Tanah Karo yang memberikan pembinaan agama Islam untuk wilayah Kabanjahe dan Berasagi.
Organisasi Muhammadiyah diperkirakan sudah ada sejak tahun 1936 dibawa oleh Bapak Sujonono (Pegawai Kantor Pos Kabanjahe). Selanjutnya organisasi Al-Washliyah sudah ada sejak tahun 1930-an. Masyarakat Karo juga banyak yang sekolah dan menimba ilmu di Pesantren Musthafawiyah Purba Baru di Mandailing Natal.
Era abad ke 20 sampai sekarang.
Muslim Karo semakin berkembang dan kini menduduki jabatan penting di pemerintahan, ormas Islam dan lain sebagainya.
Terdapat juga pembangunan pesantren di tanah karo seperti pesantren Al karomah, bunayya cendikia dan sekolah setingkat madrasah
Sebuah pesantren yang kini di antara paling mashur di Sumatera utara khususnya Medan dikembangkan oleh warga Karo termasuk Raudhatul Hasanah.
Raudhatul Hasanah kini telah mempunyai cabang di beberapa daerah.
Selain lembaga parsulukan, masyarakat Karo juga mempunyai paguyuban bernama Keluarga Besar Muslim Karo (KAMKA) sebagai mana Ikatan Keluarga Islam Simalungun (IKEIS), persatuan islam pakpak bharat, persatuan batak islam (pbi), jamiyah batak muslim indonesia (jbmi) dan lain sebagainya.
Tokoh muslim karo juga sudah berkiprah di levwl nasional seperti MS Kaaban, Tifatul Sembiring dan lain sebagainya.
Post a Comment