Sejarah Islam di Simalungun, Sumatera Utara
Simalungun dan Pematang Siantar merupakan dua daerah di Sumatera Utara yang identik dengan suku Bangsa Simalungun.
Sejak lama daerah ini telah mewarnai peta geopolitik dan ekonomi kawasan khususnya si Sumatera bagian Timur sampai ke Malaysia.
Masa pra sejarah hingga 7-12 M.
Islam masuk ke Sumatera melalui Barus yang saat itu merupakan kota perdagangan. Dari sana Islam masuk ke pedalaman khususnya ke wilayah Simalungun. Islam juga masuk dari utara melalui Aceh dan Karo dan dari Timur melalui pesisir Asahan.
Barus telah lama menjadi bandar internasional yang menjadi tempat pemberhentian kapal-kapal di musim tertentu dari Yunani, Arab, Armenia, Tamil, Persia, India dll yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Lobu Tua dan eksistensi Makan Mahligai, Makam Papan Tinggi dan lain sebagainya. Di era ini tumbuh kerajaan Islam pertama di Sumatera termasuk Lambri atau Lamuri, Daya Pasai, Perlak dan lain sebagainya.
Abad 12-15 M.
Beberapa daerah di Sumatera mendapat pengaruh maupun penguasaan dari kedatuan Sriwijaya, Samudera Pasai, Majapahit (ekspedisi Pamalayu), Pagaruyung dan belakangan Aceh Darussalam termasuk Kerajaan Aru, Haru, Panai dan lain sebagainya.
Salah satu tokoh yang terkenal dari Barus adalah Hamzah Fansuri. Meski begitu tokoh ini juga dikenal sebagai bagian dari Aceh Singkil meski kata Fansuri adalah sebutan Arab untuk Barus. Murid-murid beliau kemudian menggunakan laqab Al Shingkili dan Al Sumatrani.
Hamzah Fansuri dikenal sebagai tokoh sufi ahli tata bahasa Melayu yang membuat bahasa Melayu Barus menjadi standar di nusantara yang belakangan diadopsi menjadi bahasa Indonesia.
Barus juga belakangan dikenal sebagai Titik Nol Islam Nusantara yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo di era pertama pemerintahannya (2014-2019) yang didorong oleh sejumlah tokoh termasuk putra Pakkat Syeikh Ali Akbar Marbun (cucu dari ibu seorang panglima SM Raja XII) Rais Syuriah PBNU dan pembina Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI).
Invasi Kerajaan Rajendra Chola dari India selatan juga diperkirakan sampai ke Simalungun yang saat itu telah berdiri kerajaan Nagur.
Cerita rakyat Simalungun menghubungkan Kerajaan Nagur dengan dengan daerah Nagore di Nagapattinam India yang sekarang berada di Tamil Nadu. Dulu bernama Koromandel. Sebelum dikuasai Inggris di wilayah ini pernah berdiri Kesultanan Karnatik atau Arkot yang menjadi bagian dari kekaisaran Mughal India.
Abad 15-18.
Sebagai wilayah perdagangan, daerah Simalungun masuk salam catatan Laksamana Cheng Ho, ibnu Bathutah dan para pengelana dari Eropa.
Di era ini terdapat ulama terkenal bernama Guru Sahilan pada 1451 dan sekarang ditandai dengan terdapatnya beberapa makam tua seperti Keramat Kubah Pandan di Perdagangan, kisah tuan lobe penyebar Islam dan lain sebagainya.
Selain itu juga terdapat situs Batu Gajah seluas 0,8 ha yang diapit oleh Sungai Bah Kisat dan Sungai Bah Sipinggan yang diperkirakan dari era Sriwijaya.
Para pembesar dan raja-raja Simalungun di era ini ikut mewarnai politik Kerajaan di Aceh, Asahan maupun Kesultanan Serdang maupun Deli di Medan sekarang.
Ekspedisi Pamalayu Majapahit penerus Singosari bersama Pagaruyung ikut mewarnai sejarah Simalungun dan beberapa kerajaan di Sumatera Utara saat itu.
Hal itu terlihat dari kisah perjalanan Tuan Ibrahimsyah yang datang Tarusan, Kerajaan Inderapura, kini di Sumatera Barat yang belakangan dikuasai Pagaruyung. Ibrahimsyah dikenal sebagai penyebar Islam di Barus.
Juga ekspedisi pendiri Kesultanan Kota Pinang, Sultan Batara Sinomba atau Batara Gurga Pinayungan Tuanku Raja Nan Sakti, leluhur marga Nasution, putra Sultan Alamsyah Syaifuddin yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung pada 1630-an.
Begitu juga Gocah Pahlawan panglima Aceh yang menjadi ikon Kesultanan Deli juga merupakan keturunan Pagaruyung.
Saat itu banyak pedagang India dan Afghanistan datang ke Simalungun.
Salah satu contohnya leluhur dari wakil gubernur sumatera utara periode 2018-2023 yang datang dari Asahan dan berteman dengan Syeikh Silo yang menjadi leluhur ustad Abdul Shomad dari ibunya.
Keluarga Musa Rajekshah merupakan tokoh Simalungun yang terkenal di bidang ekonomi dan dakwah.
Abad ke-18 sampai 20 Masehi.
Di era ini terdengar kiprah perlawanan Raja Sangnaualuh, Raja Siantar ke-14 kepada penjajah Belanda yang membuatnya diasingkan ke Bengkalis, Riau.
Pada era kebangkitan nasional yakni setelah 1920-an, banyak ulama Mandailing dari Tapanuli Bagian Selatan turut berdakwah di Simalungun.
Sementara itu pendidikan Islam di Simalungun juga cukup kuat meski dalam penjajahan Belanda. Organisasi nahdlatul ulama, Muhammadiyah, Al Washliyah juga mulai berdatangan.
Terdapat juga persulukan seperti yang dipimpin Syekh Abdurrahman Rajagukguk ayah dari Tuan Guru Batak Ahmad Sabban Rajagukguk yang datang dari Porsea.
Juga terdapat tokoh seperti Syeikh Salman Saim dari Pesantren Naqsyabandyah Al Kholidiyah Jalaliyah Bandar Tinggi dan lain sebagainya.
Dari Abad 20 sampai sekarang.
Kini Islam di Simalungun dan Pematang Siantar memiliki sejumlah lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, parsulukan, madrasah negeri maupun tingkat universitas seperti sekolah tinggi atau stai samora dan stai uisu pematang siantar. Dalam waktu dekat akan dibangun juga universitas muhammadiyah, Simalungun.
Post a Comment